Minggu, 26 April 2020

“DIALEKTIKA PERANG DAN PERDAMAIAN ABADI”


“DIALEKTIKA PERANG DAN PERDAMAIAN ABADI”

Kelas PLC kali ini akan menyinggung perihal peperangan dengan mnggunakan sudut pandang sederhana dalam memaknai sebuah kejaidaian besar yang membawa manusia berada pada titik terendah untuk kemudian menemukan mekanisme baru untuk mencegah pengulangan kejadian di masa lalu dan kemudian bangkit melebihi dari kapasitas yang dilalui sebelumnya. Sebelum berangkat ke penjalasan yang lain, mari kita sejenak berfikir, Perang Baik atau Burukkah?, mau bilang baik, apakah kematian banyak orang untuk mencapai kepentingan salah satu kolmpok itu baik? Upaya menang dan mengalahkan itu baikkah? Mungkin baik bagi kelompok menang namun bagaimana dnegan kelompok yang kalah, setiap kekalahan dari peperangan atau dijajah tentu menyisakan luka yang menurun atau adanya pewarisan kekelahan bagi penerus untuk kembali belajar bangkit. Dalam kisah kenabian pun kita banyak belajar daari kisah-kisah perjuangan Rasulullah dan Sahabat nabi dalam berperang, dan kisah kekhalifahan dan juga kisah tentang runtuhnya kehalifahan dari sebuah perang. Sejak dulu kita mendengarkan banyak kisah kejayaan dan keruntuhan dari sebuah peperangan, dan keadaan saat inipun memunculkan kekhawatiran bahwa sewaktu-waktu peperangan bisa saja terjadi. Dalam beberapa sudat pandang, perang tentu tidak mendatangkan kebahagiaan bagi semua orang, namun dari peprangan jugalah kita belajar untuk enemukan mekanisme hidup yang lebih bijaksana tentutnya.

Berangkat dari poal pikir Emmanuael Kent, seorang filsuf yang merumuskan Perdamaian Abadi dengan mengemukakan pendaptanya bahwa “Bertindaklah seolah-olah maksim tindakan Anda melalui keinginan Anda sendiri dapat menjadi sebuah Hukum Alam yang Universal”. Dalam pandangannya, perang adalah sebuah hokum alam yang terjadi akibat proses pembelajaran manusia, peperangan terjadi untuk menciptakan kehidupan ynag lebih baik setelahnya. Sebelum jauh memhami konsep perang yang di kemukakan oleh Kent Immanuel, manusia adalah makshluk yang assosial dan social, maksudnya adalah manusia merupakan makhluk yang membutuhkan orang lain namun di satu sisi ia adalh makhluk yang sangat individual dan mementingkan kepentingan pribadinya. Dorongan inilah yang kemudian disebut sebagai Antagonisme yaitu dorongan alam manusia untuk mementingkan diri sendiri dan sebagai bentuk Hukum alam.

Minggu, 19 April 2020

SOCIAL IDENTITY PREJUDICE AND STEREOTYPE


SOCIAL IDENTITY PREJUDICE AND STEREOTYPE

Apa yang membedakan jiwa satu individu dengan individu lainnya?, materi kali ini dimulai dengan pertanyaan yang sepert ini, bagaiman kita bisa tau ini jiwanya si A dan ini jiwanya Saya. Sebelum menjawab pertanyaan tadi, perlu disadari bahwa jiwa itu terikat oleh raga,ibarat sebuah kendaraan raga menjadi kendaraannya sedangkan jiwa menjadi pengendaranya, karena jiwa terikat dengan raga maka salah satu cara untuk membedakan jiwa satu dan lainnya adalah melalui ciri penampkannya, hal pertama saat kelahiran jiwa di dalam raga adalah dengan diberinya ia sebuah nama yang menjadi penanda dirinya, selain itu jiwa ternyata bertumbuh dan berkembang seiring dengan pengalaman, sehingga jadilah jiwa A dan Jiwa B. 

Jiwa itu diberi dan terberi, ada yang tidak dapat kita pilih, ada juga yang dapat kita pilih. Tempat lahir, orang tua, jenis kelamin, dan sebagainya merupakan identitas jiwa yang diberikan oleh Tuhan, kita tidak dapat memilihnya, sebab begitulah identitaas yang membarengi kelahirann kita. Sedangkan pekerjaan, passion, pendidikan adalah terberinya identitas jiwa berdasarkan pengalaman yang dilalui. Konsep identitas jiwa ini dapat berkembang menjadi identitas kolektif, berupa identitas Kelompok, identitas suku, ras, dll.

Identitas inilah yang kemudian memunculkan keinginan untuk memiliki Self Image atau citra diri. Self Image adalah apa yang dilihat seseorang ketika dia melihat dirinya sendiri. Berikut penjelasan beberpa ahli terkait citra diri( Burn, 1993) Citra diri juga bisa disebut kesadaran diri, yang masuk akal dari apa yang orang pikirkan tentang diri mereka sendiri (Brown, 1998). Ada juga yang berpendapat bahwa Citra diri adalah aspek citra diri yang memengaruhi harga diri (Centi, 1993). Dalam proses pemenuhan citra diri inilah yang bisa menimbulkan konflik pribadi di dalamnya, saat seserang merasa malu akibat suatu perkataan atau peristiwa dan mengancam rusaknya citra diri yang telah dibangun maka reaksi pribadi bisa menimbulkan konflik, beberapa kasus pembunuhan bisa juga di picu oleh factor ini, kehilangan muka atau lost of face akibat citra diri yang terusik, akhirnya muncul konflik dan bisa berujung pertikaian. Jika isu pribadi tadi kemudian memunculkan narasi-narasi baru dan melibatkan banyak orang isu tadi kemudian dapat membesar dan berujung pada isu kolekif.

Sabtu, 11 April 2020

PHIOLOSOPHY OF PEACE AND CONFLICT RESOLUTION


PHIOLOSOPHY OF PEACE AND CONFLICT RESOLUTION
(3 GERAK JIWA PLATON)

Materi ini berkaitan dengan beberapa materi sebelumnya yaitu Allegori Jonathan Livingstone Seagull, ERO dan Hakuna Matata. Pada materi kali ini kami peserta PLC di ajak untuk memaknai peranan ilmu filsafat dalam memahami hidup. Pada materi kali ini ada beberapa pembagian sub judul yang akan membantu kita memahami peranan filsafat, dimulai dari Defenisi filsafat, Hwo am I, dan 3 gerak jiwa.
Defenisi Filsafat, jadi ingat materi semester 1 saat kuliah dulu buku biru Filsafat Ilmu buku Jujun  S. Suriasumantri yang cukup popular dikalangan anak-anak BEM, matakulaih yang paling rame dan tidak pernah tenang saat dibawakan oleh dosen. Filsafat berasal dari 2 suku kata Philo yaitu cinta dan Sophia yaitu kebijaksanaan atau wisdom. Singkatnya filsafat merupakan ilmu tentang kecintaan terhadap ilmu itu sendiri, rasa cinta untuk ingin mengetahui lebih hal-hala yang paling mendasar di kehidupan dan menghasilkan kebijaksanaan dalam memaknai setiap pengetahuan. Filsafat juga dikenal sebagai ilmu segala ilmu, sehingga hamper disetiap jurusan pasti mendapatkan materi filsafat, sebab rasa ingin tahu terhadap ilmu pengetahuan adalah ilmu dari berfilsafat. Semenarik itu filsafat, meski waku kuliah kadang menjengkelkan berfilsafat dengan senior, sebab kesannya ingin menguji dan menunjukkan betapa pintarnya mereka membuat kami bingung apalagi kajiannya melulu tentang ketuhanan yang tidak jarang menimbulkan kesan ragu terhadap keesaan tuhan, hingga dosen saya sempat melontarkan kalimat seperti ini “ada beberapa ilmu yang ketika kita sulit menemukan rasionalisasinya, maka bisa jadi yang dibutuhkan adalah keyakinan”. Namun, tetap saja harus ada keyakinan bahwa tuhan itu maha tau dan segala yang diciptakannya tentu dapat dirasionalisasikan agar bertumbuhlah keyakinan kita.
Dalam berfilsafat, kerap kali pengetahuan yang dinalarkan akan mengalami pertentangan, jika pengetahuan itu bertentangan dengan value yang diketahuinya sehingga saat ada sebuah kebijakan kerap terjadi konflik. Sebab beberapa filsuf mencoba untuk untuk mengkaji sebuah pengetahuan yang mengakibatkan “setereotip tertentu”, mereka mencoba mengkritik karya filsuf lain, sehingga tidak jarang ada banyak pertentangan dan konflik muncul. Sehingga dalam berfilsafat harus tumbuh keyakinan bahwa ilmu yang ingin dicari adalah segala bentuk ilmu yang bisa menciptakan kecintaan kita terhadap ilmu itu dan menjadikan kita sebagai pribadi yang lebih bijaksana, namun jika terjadi secara berbeda, maka perlu adalanya kesadaran diri, apakah kita sudah benar dalam memaknai ilmu pengetahuan.
Melirik kisah hidup seorang Socrates, seorang filsuf yang sangat terkenal dengan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan yang berhasil menginspirasi orang lain bukan melalui tulisannya namun melalui wujud cinta dan kebijaksanaannya terhadap ilmu pengetahuan, sosok filsuf yang menunjukkan rasa ingin tahunya dengan terus-terusan bertanya dan berdialegtika dengan siapa saja yang pada akhirnya memunculkan kesadaran pada orang lain tentang kebijaksanaan, meski dalam sejarah Socrates dianggap memunculkan berbagai kontreversi namun ia dikenal sebagai sosok yang paling mampu menjawab segala pertanyaan terkait hawa nafsu dan perjalanan roh. 
“Hidup yang tidak pernah diperiksa adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani"

Minggu, 05 April 2020

HOW TO FIND YOUR DREAMS

“FIND YOUR DREAMS”

Dalam proses menemukan “why” seperti postingan sebelumnya bahwa dalam proses menemukan “why-nya kita” tentu bukan persoalan mudah, jalan yang dilalui tentu cukup dinamis dan bisa saja menghadirkan kekosongan dan ketidakdamaian. Dalam proses ini perlu disadari kita sedang melakukan apa dan akan menargetkan apa, sebab kesadaran inilah yang akan menumbuhkan “aware”nya kita dalam menyikapi setiap pesan-pesan tuhan yang datang.
Dalam proses menemukan apa biasanya kita akan terjebak dalam ruang-ruang ambisi pribadi “saya mau jadi”, “kalau jadi.., saya mau jadi…”, kata ini menjadi penggiring indikasi ambisi pribadi tersebut, dan perlu melakukan konfirmasi kembali, apakah misinya kita menjadi apa berdasarkan kepentingan pribadi atau kepentingan orang banyak. Sungguh, bukannya sangat sederhana tuhan menciptakan kita jika hanya untuk mementingkan ambisi sendiri, bukankah itu tidak mencerminkan betapa kuasanya tuhan?, kehadiran kita tentu jauh lebih besar peranananya dari hanya sekedar memikirkan ke-Akuan.
Memaknai tugas ke-Akuan dan tugas ke-Kitaan, adalah dengan mengukur dampak yang dihasilkan dari sebuah capaian, kalau targetnya individu maka hanya akan berdampak secara individu namun jika targetnya adalah untuk masyarakat maka dampaknya juga tentu untuk masyarakat. Ke-Esaan tuhan salah satunya terwujud dengan dikirimnya manusia-manusia yang bervisi masyarakat dan belajar untuk lupa atas kepentingan pribadinya, diutusnya manusia-manusia pilihan yang mengajarkan manusia lain bahwa kebaikan itu dapat di tularkan dan menularkan, bahwa kebaikan itu bisa dipelajari dan membelajarkan dan kebaikan akan mendatangkan kebaikan lainnya.