“YES, I KNOW MY DREAMS”
Materi ke 7 sesi
1 Peace Leadership Class untuk asupan jiwa dan kepala para Guardian Of Peace
Kita Bhinneka Tunggal Ika, judul besarnya dalah DO YOU NOW YOUR DREAM?, pertanyaan yang mudah mungkin untuk dijawab
saat kita masih SD namun seiring usia bertambah kita memilih untuk tidak lagi
bermimpi, dengan anggapan bahwa saya ikhlas dengan semua takdir saya dan saya
lelah untuk bermimpi. Nah, dalam proses ini ada tahapan yang kurang tepat kita
lalui, dimana sebagian besar kita berfokus pada “Apa” dan lupa tentang “Kenapa”
akhirnya berujung pada ketidak damaian kita dalam menjalani hidup. Kadang kita
merasa tidak cocok dengan pekerjaan, jurusan saat kulah atau bahkan kita gagal
memenuhi ekspektasi diri kita sendiri, misalnya merasa sudah cukup layak untuk
S2 dengan beasiswa, namun dalam prosesnya kita gagal dan merasa lelah, hal
inilah yang kemudian kita maknai sebagai konflik Tuhan dan manusia, saat tuhan
berkehendak lain dan manusia terus berekspektasi. Mungkin saja tuhan hendak menguji
kita dengan mendapatkan S2 dan beasiswa namun di kampus yang berbeda atau
dengan beasiswa yang berbeda, atau mungkin saja yang kita butuhkan saat itu
bukanlah S2 melainkan kerja dulu, atau masih banyak kemungkinan lainnya yang
Allah sudah rencanakan untuk kita.
Pada fase ini
bisa kita anggap sebagai salah satu bentuk kegagalan dalam mengidentifikasi
tujuan hidup. Nah, tugas selanjutnya dalah bagaiman cara yang tepat dalam
menemukan mimpi itu?. Mimpi yang kita bangun (bukan temukan) adalah yang
berdasarkan pada kesadaran untuk bergerak menemukan misi hidup, temukan dulu
misi hidup kita apa dan alasannya kenapa. Dalam proses ini kita sebaiknya
memahami 2 persfektif dalam membangun mimpi yaitu “START WITH WHY” dan “JADI
APA VS MELAKUKAN APA”.
Memulai membangun
mimpi dengan menanyakan kepada diri sendiri tentang Big Why-nya kita, kenapa
hal ini penting? Sebab kejahatan dalam duni profesi seperti “dekkeng” atau
nepotisme bahkan urusan sogok dan korupsi di bangun dengan tujuan mewujudkan
“apa dan lupa menemukan Kenapa”, contoh misalnya saya adalah seorang anak yang
bercita-cita mau menjadi seorang polisi karena keren dan sebagainya, namun
sayangnya saya punya cukup banyak kekurangan dari segi fisik akhirnya saat tes
saya banyak gagalnya, saya mencoba berolahraga agar badan saya terlihat cukup
bagus dan saya juga mencoba mencari relasi untuk bisa mendukung karir saya,
akhirnya saya tes lagi da nada tawaran bayaran agar bisa dapat jaminan masuk,
akhirnya saya akan mengambil semua cara itu agar saya masuk karena saya sangat
ingin menjadi polisi biar dilihat keren dan beken oleh orang dikampung saya.
Alhasil saya lolos, hari berlalu dikepala saya hanyalah jadi polisi yang
semakin keren, akhirnya saya mencoba berbagai cara agar naik pangkat dan terus
naik pangkat. “apakah yang saya lakukan sudah tepat?”, atau contoh lain, saya
seorang anggota dewan, sibuk dengan dunia politik, saat mencalonkan saya kerap
melakukan money politik, alhasil saat menjabat saya sibuk untuk mengembalikan
modal yang sebelumnya sudah habis terpakai, setelah itu saya ingin terus melaju
di pilkada, jadi bupati dan seterusnya. “Apakah yang saya lakukan salah?”
Peranyaan di
atas silahkan dijawab sendiri ya… hehehewww…, penjelasannya nanti ya. Coba di
cek Golden Circle berikut ini:
Dari desan
berfikir diatas, sebagian besar kita tumbuh di lingkungan yang focus terhadap
lingkaran terluar yaitu Jadi Apa-nya dulu kemudian kita mencoba membenarkan
apanya kita dengan menemukan why dan menetukan how-nya. Pola pikir ini erat kaitannya
dengan cerita di atas, jika konsep bermimpinya kita adalah focus terhadap jadi
apa-nya bukan karena kenapa-nya. Akhirnya tidak sedikit diantara kita kemudian
merasa lelah. Pola berfikir ini saya refleksikan sebagai dilematis terbesar
saat berada pada fase Quarter Life, tuntutan bekerja, tuntutan lingkungan dan
tunttan keluarga menjadi campur aduk di usia ini, saya menghadapi crisis
berkepanjangan, evaluasi diri berkali-kali dan saya berada pada kesimpulan saya
lelah bermimpi.
Berikut ini, kak
therry selaku guru kami yang mengajarkan semua kegiatan di Peace Leadership
Class, memberikan sebuah contoh yang berbeda, kisah seorang anak desa. Pada suatu
waktu dia ditanya oleh seorang guru, kamu cita-citanya jadi apa? Diapun menjawab
jadi Polisi, terus si guru bertanya balik, kenapa kamu mau menjadi polisi? Dia dengan
gagahnya menjawab karena saya mau melindungi orang-orang dan mau menjaga
keamanan lingkungan dari penjahat. Singaktanya, anak ini terus menerus
mengingat alas an mengapa ia ingin menjadi seorang polisi, ketika tamat SMA dia
muali memikirkan cita-cita yang sudah dibangunnya, menjadi Polisi bukannlah hal
yang mudah tentunya, dia beralatar belakang dari keluarga yang miskin, tidak
mungkin sanggup untuk masuk menjadi polisi. Hingga suatu waktu ia mendapatkan
twaran untuk bekerja sebagai seorang security mall, ia sangat bahagia sebab
dengan menjadi security-pun ia masih bisa memnuhi cita-citanya. Jadilah ia
sebagai karyawan yang taat, rajin dan bersungguh-sungguh. Ia melakukan
pekerjaannya dengan sepenuh hati dan penuh kebanggaan. Hingga suatu waktu ia
ditawarkan untuk bekerja di sebuah hotel berbintang, namun untuk masuk kesana
dia membutuhkan rekomendasi dari atasan, si atasan menyadari kesungguhan
bekerja si anak tersebut sehingga ia memberikannya rekomendasi untuk bekerja di
hotel. Hingga suatu waktu, lewatlah sebuah mobil yang menurigakan, dengan
gerak-gerik yang tidak biasanya, dengan bekerja cepat ia berhasil menggagalkan
sebuah aksi terorisme di hotel tersebut, dari hasil kerjanya tadi ia kemudian
mendapatkan penghargaan dan mendapatkan pembinaan langsung dari BNPT (Badan
nasional Penaggunalangan Teroris).
Karena keseriusannya belajar ia terus menunjukkan peningkatan yang baik hingga
akhirnya ia ditawari menjadi pegawai di BNPT, dia bekerja dengan
sungguh-sungguh dan sdi sela waktunya tumbuhkah keinginan untuk membantu
orang-orang di kampungnya menjadi security akhirnya ia memutuskan membentuk
agen security dengan pelatihan langsung dari dia dan menghasilkan
security-security yang professional. Dari cerita ini, kita di ajarkan bahwa,
tidak perlu menjadi apa yang penting kamu tau kenapa kamu menginginkan sesuatu.
Si anak yang gagal menjadi polisi namun berhasil mewujudkan “kenapa-nya”.
Karena dalam proses mewujudkan “kenapa-nya” kita akan mengantarkan kita kepada
berbagai pilihan-pilihan menjadi apa.
Kisah diatas
merupakan sebuah tamparan keras buat saya pribadi, yang sebelumnya mengatakan
bahwa saya lelah bermimpi, sebenarnya bukan lelah bermimpi namun karena saya
terlalu focus menjadi apa sehingga saya melupakan big why-ny, sehingga kita
sulit menemukan Innerpeace dalam beraktivitas. Sejatinya masa lalu yang susah,
sedih, bahagia dan menyenangkan adalah rangkaian kejadian yang sudah Allah
S.W.T sisipkan di setiap kegiatan kita sebagai bentuk pengingat bahwa bukan
menjadi Apa tujuan hidup ini melainkan “Kenapa” yang harus menjadi tujuan,
kegagalan dalam membaca pesan tuhan membuat kita menjadi pribadi yang hanya
akan fokus pada tahapan menjadi apa dan lupa kenapa kita hadir pada setiap
kejadian yang telah kita lalui, oleh karena itu perlu adanya melakukan refleksi
pada setiap aktivitas kita agar value yang kita dapakan pada suatu peristiwa
atau kegiatan dapat kita maknai secara mendalam.
Indikator
seorang pemimpin adalah ia mampu menginspirasi dan mengajak orang lain untuk
mengikuti “why” yang dibangunnya, dan tentu “why” yang kita temukan adalah yang
berorientasi pada kemaslahatan umat, niatannya adalah manusia yang bermanfaat
untuk orang lain adalah manusia yang terbaik. Dan mimpi yang dibangunya selalu
bersifat “growth” yang mampu bertumbuh dan menjadi lebih besar seiring waktu. (read
my previous post about Allegori jonathan
seagull)
(Materi ini dibawakan oleh kak Therry Algifary di Peace leadership Class)
(Materi ini dibawakan oleh kak Therry Algifary di Peace leadership Class)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar