Minggu, 19 April 2020

SOCIAL IDENTITY PREJUDICE AND STEREOTYPE


SOCIAL IDENTITY PREJUDICE AND STEREOTYPE

Apa yang membedakan jiwa satu individu dengan individu lainnya?, materi kali ini dimulai dengan pertanyaan yang sepert ini, bagaiman kita bisa tau ini jiwanya si A dan ini jiwanya Saya. Sebelum menjawab pertanyaan tadi, perlu disadari bahwa jiwa itu terikat oleh raga,ibarat sebuah kendaraan raga menjadi kendaraannya sedangkan jiwa menjadi pengendaranya, karena jiwa terikat dengan raga maka salah satu cara untuk membedakan jiwa satu dan lainnya adalah melalui ciri penampkannya, hal pertama saat kelahiran jiwa di dalam raga adalah dengan diberinya ia sebuah nama yang menjadi penanda dirinya, selain itu jiwa ternyata bertumbuh dan berkembang seiring dengan pengalaman, sehingga jadilah jiwa A dan Jiwa B. 

Jiwa itu diberi dan terberi, ada yang tidak dapat kita pilih, ada juga yang dapat kita pilih. Tempat lahir, orang tua, jenis kelamin, dan sebagainya merupakan identitas jiwa yang diberikan oleh Tuhan, kita tidak dapat memilihnya, sebab begitulah identitaas yang membarengi kelahirann kita. Sedangkan pekerjaan, passion, pendidikan adalah terberinya identitas jiwa berdasarkan pengalaman yang dilalui. Konsep identitas jiwa ini dapat berkembang menjadi identitas kolektif, berupa identitas Kelompok, identitas suku, ras, dll.

Identitas inilah yang kemudian memunculkan keinginan untuk memiliki Self Image atau citra diri. Self Image adalah apa yang dilihat seseorang ketika dia melihat dirinya sendiri. Berikut penjelasan beberpa ahli terkait citra diri( Burn, 1993) Citra diri juga bisa disebut kesadaran diri, yang masuk akal dari apa yang orang pikirkan tentang diri mereka sendiri (Brown, 1998). Ada juga yang berpendapat bahwa Citra diri adalah aspek citra diri yang memengaruhi harga diri (Centi, 1993). Dalam proses pemenuhan citra diri inilah yang bisa menimbulkan konflik pribadi di dalamnya, saat seserang merasa malu akibat suatu perkataan atau peristiwa dan mengancam rusaknya citra diri yang telah dibangun maka reaksi pribadi bisa menimbulkan konflik, beberapa kasus pembunuhan bisa juga di picu oleh factor ini, kehilangan muka atau lost of face akibat citra diri yang terusik, akhirnya muncul konflik dan bisa berujung pertikaian. Jika isu pribadi tadi kemudian memunculkan narasi-narasi baru dan melibatkan banyak orang isu tadi kemudian dapat membesar dan berujung pada isu kolekif.


Bagiku secara pribadi isu seperti ini bikin kepala mumet yah, soalnya emang ada banyak aspek yang perlu di pahami mulai dari konsep Human Needs yang di populerkan oleh maslow. Pada dsaranya kita sering melontarkan ungkapan pembenaran terhadap  perilaku yang tidak benar berdasarkan pemahaman kita terhadap kebutuhan hidup, biasanya ungkapan pembenaran ini menggunakan kata ajaib “kan, manusiawi yah”, “siapa tidak marah coba, kalau di perlakukan seperti itu”, “yah, namanya manusia tidka luput dari dosa”, bagi saya pribadi ungkapan inilah yang kemudian menguatkan kita bahwa, it’s okay to be wrong atau it’s okay to be not okay. Kalau belajar dari materi sebelumnya, Socrates mengenalkan kita bahwa ilmu itu mampu meniadakan segala keinginan-keinginan pribadi, puncaknya adalah ketika kita mampu bersikap hingga melampaui kebutuhan dasar pribadi kita. Yah, kembali lagi peran kita hanya satu yaitu melakukan yang terbaik saat ini di ruang kendali kita, sebab semenit yang lalu akan menjadi sejarah dan semenit kemudian adalah msiteri, ruang kendali kita adalah saat ini.

Nah, dari konsep dasar kebutuhan manusia tadilah kemudia berkembang menjadi isu kolektif, sebuah konflik berkembang menjadi besar saat suatu kelompok merasa terancanm dengan hadirnya kelompok baru. Ancaman ini bisa berupa kekhawatiran akan hilangnya kebudayaan yang sudah ada, rasa cinta yang berlebihan terhadap kelompok, pengambil alihan lahan, atau bisa juga menganggap kelompok menjadi ras unggul dan tidak boleh terkalahkan. Dari konsep inilah kemudian berwujud pada pembantaian dan genosida. Manusia bisa sampai setega itu jika thumos mereka membesar dan mengkerdilkan aspek logisticonnya, akhirnya tindakan yang mereka lakukan menjadi sebuah gerakan yang massif dengan mengatasnamakan kelompok atau kedaerahan bangsa, rasa tau suku. Biasanya konflik yang seperti ini terus menerus teringat menjadi sebuah stigma yang membenarkan marjinalisasi sebuah kaum, biasanya kelompok yang habis bertikai tetap memiliki stigma turunan akan baik buruknya suatu kaum. Dari penjelasan ini bisa dibayangkan betapa bahanya sebuah prasangka.

Faktor selanjutnya adalah sebuah prasangka yang menjadi sebuah keyakinan akan menghasilkna keyakinan baru. Belajar dari konsep pigmalien effect, yang melihat hasil karya patungnya sebagai sebuah mahakarya dan membuatnya mencintai patung tersebut dan memperlakukannnya layaknya manusia dan ia berinteraksi dengannya, singkatnya patung tersebut menjadi hidup. Kisah ini menceritakan bahwa sebuah kecintaan yang berlebihan dan kemudian menciptakan sebuah keyakinan baru akan menghasilkan sebuah keyakinan baru. Konteks hidupnya patung pada dasarna bisa di artikan sebuah keyakinan yang menggerakkan kita untuk mengakui kebenaran dari keyakinan tersebut. Contoh misalnya, seorang anak yang sering sekali mendapatkan perlakuan buruk, misalnya saat ia mulai melakukan sesuatu kemudian orang tua anak tersebut menganggapnya bodoh dalam melakukan banyak hal, hingga akhirnya ia betul-betul gagal hamper di setiap hal maka keyakinan yang terbangun dalam benak anak adalah dia anak yang bodoh dan setiap hal yang dilakukannya hanya akan menghasilkan kegagalan. Maka dari cerita ini kegagalan adalah hasil dari keyakinan (Beliefs).

Materi PLC kali ini mengajarkan saya bahwa, manusia bisa menjadi kehilangan kemanusiaannya jika megedepankan hasrat hidupnya, mencoba memenuhi segala kebutuhan dasarnya dan mengenyampingkan fitrah kecerdasan yang Tuhan berikan, berfikir seolah hidup hanya menyoal tentang perut, harta, kehormatan dan kekuasaan, dan akhirnya ia lupa bahwa misi hidup yang Tuhan bebankan bukan disana. Pelan-pelan ia meninggalkan tuhan dan tuhan pun menjauh darinya kemudian kehadirannya menjadi malapetaka, dan kematiannya menjadi tahniah.

materi ini dibawakan oleh kak Therry Alghifary di kelas PLC #9


Tidak ada komentar:

Posting Komentar