SOCIAL IDENTITY PREJUDICE AND STEREOTYPE
Apa yang membedakan jiwa satu
individu dengan individu lainnya?, materi kali ini dimulai dengan pertanyaan
yang sepert ini, bagaiman kita bisa tau ini jiwanya si A dan ini jiwanya Saya.
Sebelum menjawab pertanyaan tadi, perlu disadari bahwa jiwa itu terikat oleh
raga,ibarat sebuah kendaraan raga menjadi kendaraannya sedangkan jiwa menjadi
pengendaranya, karena jiwa terikat dengan raga maka salah satu cara untuk
membedakan jiwa satu dan lainnya adalah melalui ciri penampkannya, hal pertama
saat kelahiran jiwa di dalam raga adalah dengan diberinya ia sebuah nama yang
menjadi penanda dirinya, selain itu jiwa ternyata bertumbuh dan berkembang
seiring dengan pengalaman, sehingga jadilah jiwa A dan Jiwa B.
Jiwa itu diberi dan terberi, ada
yang tidak dapat kita pilih, ada juga yang dapat kita pilih. Tempat lahir,
orang tua, jenis kelamin, dan sebagainya merupakan identitas jiwa yang
diberikan oleh Tuhan, kita tidak dapat memilihnya, sebab begitulah identitaas
yang membarengi kelahirann kita. Sedangkan pekerjaan, passion, pendidikan
adalah terberinya identitas jiwa berdasarkan pengalaman yang dilalui. Konsep
identitas jiwa ini dapat berkembang menjadi identitas kolektif, berupa
identitas Kelompok, identitas suku, ras, dll.
Identitas inilah yang kemudian
memunculkan keinginan untuk memiliki Self
Image atau citra diri. Self Image
adalah apa yang dilihat seseorang ketika dia melihat dirinya sendiri. Berikut
penjelasan beberpa ahli terkait citra diri( Burn, 1993) Citra diri juga bisa
disebut kesadaran diri, yang masuk akal dari apa yang orang pikirkan tentang
diri mereka sendiri (Brown, 1998). Ada juga yang berpendapat bahwa Citra diri
adalah aspek citra diri yang memengaruhi harga diri (Centi, 1993). Dalam proses
pemenuhan citra diri inilah yang bisa menimbulkan konflik pribadi di dalamnya,
saat seserang merasa malu akibat suatu perkataan atau peristiwa dan mengancam
rusaknya citra diri yang telah dibangun maka reaksi pribadi bisa menimbulkan
konflik, beberapa kasus pembunuhan bisa juga di picu oleh factor ini,
kehilangan muka atau lost of face
akibat citra diri yang terusik, akhirnya muncul konflik dan bisa berujung
pertikaian. Jika isu pribadi tadi kemudian memunculkan narasi-narasi baru dan
melibatkan banyak orang isu tadi kemudian dapat membesar dan berujung pada isu
kolekif.
Bagiku secara pribadi isu seperti
ini bikin kepala mumet yah, soalnya emang ada banyak aspek yang perlu di pahami
mulai dari konsep Human Needs yang di populerkan oleh maslow. Pada dsaranya
kita sering melontarkan ungkapan pembenaran terhadap perilaku yang tidak benar berdasarkan
pemahaman kita terhadap kebutuhan hidup, biasanya ungkapan pembenaran ini
menggunakan kata ajaib “kan, manusiawi yah”, “siapa tidak marah coba, kalau di
perlakukan seperti itu”, “yah, namanya manusia tidka luput dari dosa”, bagi
saya pribadi ungkapan inilah yang kemudian menguatkan kita bahwa, it’s okay to be wrong atau it’s okay to be not okay. Kalau belajar
dari materi sebelumnya, Socrates mengenalkan kita bahwa ilmu itu mampu
meniadakan segala keinginan-keinginan pribadi, puncaknya adalah ketika kita
mampu bersikap hingga melampaui kebutuhan dasar pribadi kita. Yah, kembali lagi
peran kita hanya satu yaitu melakukan yang terbaik saat ini di ruang kendali
kita, sebab semenit yang lalu akan menjadi sejarah dan semenit kemudian adalah
msiteri, ruang kendali kita adalah saat ini.
Nah, dari konsep dasar kebutuhan
manusia tadilah kemudia berkembang menjadi isu kolektif, sebuah konflik
berkembang menjadi besar saat suatu kelompok merasa terancanm dengan hadirnya
kelompok baru. Ancaman ini bisa berupa kekhawatiran akan hilangnya kebudayaan
yang sudah ada, rasa cinta yang berlebihan terhadap kelompok, pengambil alihan
lahan, atau bisa juga menganggap kelompok menjadi ras unggul dan tidak boleh
terkalahkan. Dari konsep inilah kemudian berwujud pada pembantaian dan
genosida. Manusia bisa sampai setega itu jika thumos mereka membesar dan
mengkerdilkan aspek logisticonnya, akhirnya tindakan yang mereka lakukan
menjadi sebuah gerakan yang massif dengan mengatasnamakan kelompok atau
kedaerahan bangsa, rasa tau suku. Biasanya konflik yang seperti ini terus
menerus teringat menjadi sebuah stigma yang membenarkan marjinalisasi sebuah
kaum, biasanya kelompok yang habis bertikai tetap memiliki stigma turunan akan
baik buruknya suatu kaum. Dari penjelasan ini bisa dibayangkan betapa bahanya
sebuah prasangka.
Faktor selanjutnya adalah sebuah
prasangka yang menjadi sebuah keyakinan akan menghasilkna keyakinan baru. Belajar
dari konsep pigmalien effect, yang melihat hasil karya patungnya sebagai sebuah
mahakarya dan membuatnya mencintai patung tersebut dan memperlakukannnya
layaknya manusia dan ia berinteraksi dengannya, singkatnya patung tersebut
menjadi hidup. Kisah ini menceritakan bahwa sebuah kecintaan yang berlebihan
dan kemudian menciptakan sebuah keyakinan baru akan menghasilkan sebuah keyakinan
baru. Konteks hidupnya patung pada dasarna bisa di artikan sebuah keyakinan
yang menggerakkan kita untuk mengakui kebenaran dari keyakinan tersebut. Contoh
misalnya, seorang anak yang sering sekali mendapatkan perlakuan buruk, misalnya
saat ia mulai melakukan sesuatu kemudian orang tua anak tersebut menganggapnya
bodoh dalam melakukan banyak hal, hingga akhirnya ia betul-betul gagal hamper di
setiap hal maka keyakinan yang terbangun dalam benak anak adalah dia anak yang
bodoh dan setiap hal yang dilakukannya hanya akan menghasilkan kegagalan. Maka dari
cerita ini kegagalan adalah hasil dari keyakinan (Beliefs).
Materi PLC kali ini mengajarkan
saya bahwa, manusia bisa menjadi kehilangan kemanusiaannya jika megedepankan
hasrat hidupnya, mencoba memenuhi segala kebutuhan dasarnya dan
mengenyampingkan fitrah kecerdasan yang Tuhan berikan, berfikir seolah hidup
hanya menyoal tentang perut, harta, kehormatan dan kekuasaan, dan akhirnya ia
lupa bahwa misi hidup yang Tuhan bebankan bukan disana. Pelan-pelan ia
meninggalkan tuhan dan tuhan pun menjauh darinya kemudian kehadirannya menjadi
malapetaka, dan kematiannya menjadi tahniah.
materi ini dibawakan oleh kak Therry Alghifary di kelas PLC #9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar