Selasa, 19 Mei 2020

MENJADI GUARDIAN OF PEACE


MENJADI GUARDIAN OF PEACE

Dipenghujung tahun 2019, saya mendapatkan info sebuah kegiatan yang cukup berbeda dari kegiatan yang saya ikuti sebelumnya, ajakan untuk mnegikuti sebuat training untuk menjadi seorang fasilitator, tak ada gambaran tentang kegiatan ini, Cuma di kasi tau saja “ini keren, ikutmi”, ditengah perjalanan saya berlibur di Tana Toraja waktu itu, tanpa pikir panjang sayapun mengisi formulirnya dengan gambaran “saya membutuhkan lingkungan baru dan ilmu baru sepertinya”, jreng…. Saya tersentak melihat nominal harga trainingnya, jarang-jarang saya tergerak untuk mengikuti kegitan dengan budget lumayan, tapi karena sudah terlanjur ngisi formulir, yah malu dong kalau tidak lanjut. Singkatnya sayapun mendaftarkan diri ke kegiatan yang entah berantah ini, sangat jauh dari kebiasaan saya dalam mengikuti sebuah kegiatan biasanya (cari gratisan kalau bisa saya yang di bayar, mental mahasiswa belum hilang soalnya).

Kegiatan itu adalah Training For Peace facilitator (TFPE), dihari pertama kegiatan muncul kecemasan, bisakah saya bergaul yah? Bisakah saya enjoy dengan kegiatannya apalagi di jadwal kegiatannya cukup lama, udah kebayang bosannya, dan saya memilih untuk datang terlambat dan sengaja melambatkan diri, yang dijadwal harusnya datang paling lambat jam 08.00 saya datangnya jam 09.00. dan semua berjalan dengan baik justru, saya punya kenalan baru yang lama juga ternyata ada, kegiatannya tidak membosankan dan saya sampai lupa pernah menguap apa tidak hingga kegiatan berlalu selam 3 hari dan semuanya sangat menyenangkan. Dari sana saya mulai cukup tertarik dengan berbagai kegiatan Kita Bhinneka Tunggal Ika. Di TFPE ini merupakan momen pertama saya bercerita banyak tentang keluarga saya ke kak Via, sampe tidak nyangka juga kalau saya ternyata saya bisa seterbuka itu tentang keluarga.

SOCIO CULTURAL COMPETENCE AND RESILIENCE


SOCIO CULTURAL COMPETENCE AND RESILIENCE

Resilience atau ketahanan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan kita, kemampuan bertahan dengan mekanisme hidup yang lebih berat dan meningkatkan ketahanan diri dalam melewati fase yang lebih berat dan mampu melampauinya adalah bentuk kemampuan resiliensi seseorang. Sebelum jauh memahami tentang resiliensi pertanyaan yang paling pertama ditanyakan di kelas PLC kali ini adalah, pernahkah kalian merasa stress dan bagaimana gambaran kadaannya saat itu. Tentunya kata ini sangat lazim digunakan apalagi saat kuliah, sedikit-sedikit bilang stress akibat tugas numpuk, stress program kerja lembaga lambat pelaksanaannya, stress uang jajan belum datang dari kampung, dan masih banyak stress receh lainnya. Namun apakah stress kita sumbernya dari masalah receh ini? Tentu tidak masih ada super stress lainnya seperti meninggalnya Bapak atau Ibu kita. Stress itu berupa kecemasan yang timbul akibat gagalnya kita memenuhi kebutuhan atau keinginan yang mengakibatkan tekanan pada jiwa. Dari penjelasan ini saya berfikir bahwa betapa mudahnya kita stress akibat banyaknya keinginan dan kebutuhan yang selalu kita bangun bahkan melampaui batas kemampuan diri kita memenuhinya.

Dalam kelas parenting saya sempat belajar bahwa kita terlahir di zaman dimana menangis itu di larang, coba bayangkan di masa kecil kita saat menangis dan kata pertama yang terlontar dari orang tua adalah “sstt… jangan menangis ya, sudah yah”, kata ini justru mengakibatkan anak gagal dalam memahami emosi, sehingga dampaknya adalah anak mudah merasa tertekan sebab emosinya tidak dikenali dengan baik dan tidak disalurkan dengan cara yang aman dalam tahap perkembangannya. Terlepas dari itu semua, ini adalah sebuah tantangan baru, dimana Tuhan ingin mengajak kita mengenali emosi kita melalui cara-cara yang termanis, melalui sujud dan doa mungkin salah satunya.

Senin, 04 Mei 2020

NATURE OF CONFLICT


NATURE OF CONFLICT

Sebelum kita jauh melangkah membahas Mengenai konflik, sebelumnya mari kita sedikit beRcerita mengenai kedamaian. Damai itu menurut saya priibadi adalah kondisi dimana kita bisa hidup dengan penuh rasa keadilan atas hak-hak kita yang terpenuhi, kebayangkan yah, kondisi saat ini dimana kita selalu merasa ini dan itu, namun ternyata kedamaian yang saya maksudkan ini adalah kedamaian yang mustahil untuk di penuhi sebab factor-faktor yang telah di bahas di kelas sebelumnya yaitu manusia adallah makhluk yang assosial sekalgus social, manusia adalah makhluk yang sangat individual dan egois. Ternyata memaknai damai itu cukup dengan membayangkan bahwa di dunia ini tidak ada lagi kekerasan “Absence of violence” , meski pertentangan atau bentuk konflik lainnya tetap terjadi, sebab untuk hal yang satu ini tentu terjadi.

Hampir di setiap lini pendidikan kini aktif menyuarakan pendisiplinan tanpa kekerasan, sebab kekerasan adalah bentuk konflik terburuk yang tidak untuk di kenalkan kepada anak-anak. Mengikuti konsep gaya yang katanya “gaya orang dulu”, tentu sudah tidak relevan. Saya percaya bahwa setiap zaman dan generasi memiliki keunggulannya masing-masing, jadi kata “kami dulu dek/nak” sudah tidaklah relevan dan hanya menjadi bibit munculnya pertentangan yang baru, dimana ekspektasi kita dibentuk tanpa di dasarkan kepada realitas-realitas yang perlu dipertimbangkan. Saya ingat di awal tahun ini tante saya mengadopsi bayi, ku sebutnya baby Al. sejak tahun 2017 saya mencoba membantu mencari anak yang bisa di adopsi mulai dari panti asuhan yang ada di makasssar, kebetulan saya dan beberapa teman saya mengadapakn program helping hand di salah satu panti asuhan di talasalapang, Makassar. Dia bayi yang di titipkan oleh orang tuanya saat masih bayi hingga ia beranjak 2 tahun orang tuanya tak kunjung datang menjemputnya, mata sayunya membuat setiap mata yang melihatnya luruh, setiap telinga yang mendengar kisahnya marah, kukenalkan dialah kepada tanteku dan prosedur adopsinya ternyata pengurusannya tidak mudah, belum lagi Ibu menentang keras ide ini, ku urungkan niat untuk mengurus proses adobsinya. Tante saya memutuskan untuk tidaak banyak membahas bayi saat berkunjung ke rumah, melihat watak ibu yang cukup keras saat itu. Di tahun selanjutnya sepupu saya mengadakan ulang tahun di salah satu anti asuhan yang ada di Syeh Yusuf, Makassar, disana adalagi kisah yang menyedihkan, seorang anak riang yang baru saja berumur 8 bulan yang tertatih berjalan ia menjadi sorotan utama kami saat itu, bagaimana tidak, dia anak yang di buang oleh ibunya di dalam kardus mie yang diletakkan di depan panti asuhan dan sepucuk suratnya meminta pihak panti asuhan menjaga anak tersebut. Keinginan untuk mengadopsi anak muncul kembali, kutanyalah ke beberapa orang, ternyata mengadopsi anak yang ada di Panti asuhan ternyata tidak mudah, sebab anak-anak disana sudah di data oleh Dinas Sosial, jadi waktu itu saya disarankan untuk menghubungi perawat di rumah sakit bersalin, dan meminta bantuan untuk menghubungi tante saya jika ada anak yang bisa di adopsi, sebab anak yang baru lahir belum terdata oleh dinas, sehingga pengurusan akte kelahirannya jauh lebih mudah.