Rabu, 10 Maret 2021

Social Power Distance

 

Advance Class Guardian of Peace Kita Bhinneka Tunggal Ika

ADAPTASI BUDAYA ; SOCIAL POWER DISTANCE

Baso adalah mahasiswa tingkat satu di kampus X. Di kampus X, seniornya terkenal sering melakukan perpeloncoan kepada juniornya. Suatu hari Baso dan teman-temannya yang berjumlah 10 orang sesama mahasiswa baru di panggil ke secretariat Himpunan oleh seniornya. Ada 3 orang senior di ruangan tersebut. Senior yang terkesan garang meminta Baso untuk memijit-mijit punggungnya, salah satu teman Baso yang lain dminta untuk membeli air gallon di warung, tidak hanya itu Baso dan teman-temannya juga dijadikan bahan tertawaan oleh senior yang ada dalam ruangan tersebut selama hampir satu jam. Walaupun diperlaukan seperti itu Baso dan teman-temannya tetap menurut dan tidak berani menolak permintaan seniornya.

Apa yang membuat Baso dan teman-temannya mau diperlakukan seperti itu? Menurut tinjauan budaya apa yang menyebabkan ini terjadi?

Pertanyaan di atas memunculkan beragam jawaban tentunya, bagi saya pribadi hal ini terjadi karena kebudayaan yang berkembangan di kampus si Baso, meski Baso dan kawan-kawannya merasa kebreatan melakukan itu ia tentu beranggapan bahwa menolak tentu akan di anggap sebuah pembangkangan bukan hak si Baso untuk menolak sebagai bentuk penghormatannya kepada senior di kampus. Selain itu budaya ini terus terjadi secara turun temurun yang kemudian di contoh oleh setiap generasi bukan untuk menghentikan namun memelihara budaya yang di anggap sebagi suatu bentuk ke-Khasan sebuah kelompok dengan tujuan mendidik generasi mereka yang bermental baja dan memiliki sopan santun sesuai dengan standar yang berlaku dalam kelompok tersebut. Untuk kalangan mahasiswa di kota Makassar hal ini terdengar lumrah, senioritas adalah sesuatu yang di pandang lumrah terjadi di dunia pendidikan sejak SMP hingga ke perguruan tinggi. Budaya Ospek yang berkembang juga bagian dari upaya perpeloncoan yang dikemas sebagai kegiatan pengaderan untuk menempa mental para junior atau anggota baru darlam sebuah kelompok.  

Kebudayaan seperti ini erus berkembang di suatu kelomppok yang di anggap sebagai sebuah bentuk pembalajaran dan pendidikan dasar moral dan etika yang perlu dipahami oleh generasi mudah. Pada dasarnya budaya ini adalah budaya yang diwariskan oleh penjajah, dimana yang memiliki kekuatan atau power adalah mereka yang memiliki jabatan atau yang lebih tua atau biasanya di istilahkan sebagai orang yang lebih awal mengecap asam manis kehidupan. Padahal dalam agama kita di ajarkan untuk menghormati yang lebih dan yang lebih tua menyayangi mereka yang lebih mudah.

Pada dasarnya power ini menjadi tepat jika diterapkan tidak secara berlebihan dan juga tidak begitu rendah, misalnya saja budaya dengan lingkungan yang kekuatan socialnya rendah yang memberikan banyak keluwesan kepada orang di sekitarannya. Pada dasarnya budaya yang berkembang di Indonesia memiliki gap power usia atau privilege usia antara yang muda dan tua. Kekuatan ini berkembang sebagi bentuk kebudayaan yang perlu di gugu dan di junjung, dimakassar sendiri budaya tabe’ bisa dia anggap sebagai bentuk gap power yang di junjung misalnya saja jika konteks social yang berkembang di sebuah kelompok adalah budaya untuk meminta izin dan restu sebelum memasuki sebuah kelompok kepada tetua atau sesepuh, sebelum mendapatkan restunya kehadiran kita dianggap tidak sah dan sebagainya. Dan inilah wajah kebudayaan yang berkembang di sebuah daerah maupun di sebuah organisasi.

Di bawah sudah ada table yang dapat memberikan sedikit gambaran terkait perbedaan perkembangan social yang berkembang di tengah masyarakat jika kondisi kekuatan sosialnya rendah dan atau sebaliknya.


Pada table dapat dilihat bahwa jika power social yang berkembang lebih rendah maka kondisi social masyarakat atau kelompok yang berkembang menjadi tidak memiliki ketergantungan kepada yang di angap lebih power, bisa dibilang perkembangan sosialnya menjadi lebih mandiri dan mampu berdiri sendiri. Dan akan terjadi sebaliknya, jika kekuatan social bertumbuh menjadi lebih tinggi masyarakat atau sebuah kelompok akan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada pimpinan atau yang dituakan, mereka tumbuh menjadi tidak percaya diri dan bergantung. Hal ini juga relevan dengan perkembangan social yang diterapkan dalam sebuah keluarga, power orang tua yang terlalu tinggi kepada anak bisa menyebabkan si anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang tidak mandiri dan memiliki ketergantungan yang tinggi kepada orang tuanya.

Selanjutnya, terkait perihal ketidasetaraan atau social equality distance menjadi hal yang tidak menjadi begitu kontras jika power distance sebuah kelompok lebih rendah maksudnya dimana perbedaan kekuatan atau dominasi individu dalam sebuah kelompok menjadi yang bisa diminimalisir pertumbuhannya dan sebaliknya ketidaksetaraan atau dominasi kelompok dianggap menjadi hal yang biasa jika power distance yang berkembang cukup tinggi. Hal selanjutnya adalah hirarki atau kedudukan yang seseorang jabat menjadi sesuatu yang tidak diperlukan dalam kelompok, dan sebaliknya bagi kelompok dengan kekuatan social yang tinggi keberradaan hirarki sesuatu yang di anggap perlu, power tertinggi dan terendah dapat di ukur dari kekuatan dalam mendominasi kelompok.

Hal lain yang dapat menjadi perhatian dalam kebuadayaan social power distance adalah konsep superior accessible atau atasan yang mudah untuk di akses, maksudnya adalah lingkungan dengan kebudayaan kekuatan social yang rendah cenderung mudah untuk mengakses para pemangku jabatan dan mereka cenderung down to earth saat bertemu dengan orang lain, hal sebaliknya terjadi kepada kelompok yang memiliki kelompok dengan social power yang tinggi akan mengalami superior often unaccessible atau atasan yang tidak mudah untuk di akses atau ditemui. Misalnya saja, di kampus  atau disebuah organisasi, untuk beberapa jenis dosen tertentu mereka menjadi pribadi yang mudah untuk ditemui dan ada juga yang sulit untuk ditemui, hal ini menunjukkan perbedaan kebudayaan kekuatan social atasan yang berkembang. Dalam sudut pandang equality, perbedaan antara social low and high power distance sangat berbeda dimana kesempatan untuk dipandang setara menjadi lebih besar saat kebudayaan kelompok adalah dengan power yang rendah dan di lain sisi kekuatan social yang berkebang tinggi akan meningkatkan ketidak setaraan dalam kelompok atau hak-hak istemewa hanya dapat di akses oleh mereka yang memiliki jabatan tertentu.

Poin terakhir adalah perubahan kelompok dapat terjadi dengan lambat dan juga cepat berdasarkan dari trend kekuatan social yang berkembang, evolusi dan revolusi menjadi pembeda antara dua kelompok ini. Dimana perubahan evolusi kelompok terjadi dengan lambat bagi kelompok yang bertumbuh dengan kekuatan social yang rendah dan sebaliknya perubahan kelompok bisa terjadi dengan cepat melalui pendekatan revolusi bagi kelompok yang bertumbuh dnegan kekuatan social yang tinggi. Pada dasarnya kekuatan social atau kelompok ini menjadi sangat berbeda jika penerapannya bertumbuh sangat tinggi ataupun sangat rendah dalam penerapannya, sehingga analisis terkait pilihan penerapan kekuatan yang dikelola dengan baik dapat mendorong perubahan social yang terkelola dengan baik pula tentunya.

 By. Mudrikah Zulkifly

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar