Senin, 14 September 2020

30 Hari Bersama Penyintas

 

30 Hari Bersama Penyintas

Ini kisah tentang mereka yang berhasil melampaui peliknya rasa dan berhasil memaknai arti Hadir

Di mulai sejak tanggal 12 Juli 2020, masamba malam itu mengalami banjir yang dahsyat, sebuah rumah hanyut dan menyisakan puing-puing, seorang bapak hanya memluk pohon dan berharap ada yang segera menolongnya. Malam itu masyrakat berfikir, mungkin inilah banjir terparah yang pernah terjadi di masamba. Solidaritas pemudia mulai bermunculan, galang dana di pinggir jalan dan media social dilakukan, untuk menolong para pengungsi yang rumahnya terendam banjir, saat itu semua berfikir mungkin besok lebih baik. Esoknya 13 Juli 2020, masyarakat mulai kembali berani memasuki rumah mereka, mengamankan barang ke lantai 2, menaruh barang berharga di atas lemari dan mengambil beberapa keperluan, saat sibuk mengurusi barang tersebut air bah kembali datang, dengan pikiran bahwa “ah, ini sudah biasa terjadi”, namun tidak sedikit yang salah kaprah malam itu, air yang super dahsyat datang dengan membawa material pasir, tanah, kayu dan bebatuan menyapu bersih Kota Masamba, dalam sekejap Masamba menjadi Kota mati, berikut dengan hanyutnya beberapa warga yang menjadi korban malam itu.

Malam itu ada seorang gadis bernama Wardah, saat itu dia memilih untuk kembali kerumahnya dan menikmati waktunya bersama Ibu, ia hanya ingin berbaring bersama ibunya, bercengkrama dan menghabiskan waktu, itu saja. Tak terasa air telah menggenangi rumahnya, kemudian ia memutuskan untuk beranjak dan mengajak ibunya meninggalkan rumah dan mengungsi, namun dalam perjalanan itu air bah datang dan menghantam mereka berdua, ia menggenggam erat ibunya dan meraih sebuah tiang, memeluk erat tiang tersebut dan ibunya dengan sekuat tenaga sembari berharap seseorang menolongnya, kemudian lewatlah sebuah kasur yan entah asalnya dari mana, kemudian ibunya menyuruhnya untuk naik terlebih dahulu, saat sudah berada di atas kasur dan hendak menarik ibunya juga naik, tiba-tiba sebuah kayu yang berukuran tidak sedang menghantam ibunya, seketika ibunya pingsan dan terlepaslah ia dari genggaman anaknya, ia menghilang terbawa arus.. wardah yang merasa lemah tak lagi bisa berbuat apa-apa, ia berteriak minta tolong namun apalah daya setiap orang sedang berusaha menyelamatkan dirinya masing-masing. Takdir berkata lain wardah hanyut terbawa arus dan arus itu menuntunnya kedalam masjid, ia selamat dengan berbagai luka di tubuhnya, namun luka di hatinya tentu tak sebanding. Kata-kata yang keluar dari lidahnya saat saya jenguk adalah “Kak, saya kuat InsyAllah, tidak usah khawatir ini takdir saya dan saya ikhlas”. 


 

Terima kasih wardah, saya belajar arti ikhlas yang tertinggi adalah kemampuan menerima dan melepaskan, saat ini wardah akan berjuang meski tanpa ibu dan bapak InsyAllah, akan hadir orang-orang baik yang akan terus sayang wardah.

Lain cerita lagi seorang ibu yang malam itu tertidur bersama dengan suaminya, ia terbangun saat mendengar sekeliling rumahnya gaduh dan berteriak-teriak, ia hanya berfikir “ah, anak muda lagi berantem sepertinya”, malam itu ia memutuskan untuk tidak keluar rumah, namun tidak lama kemudian rumahnya telah digenangi air sepinggang dengan cepat, ia kemudian keluar rumah bersama suaminya dan mulai panic, ternyata banjir ini tidak seperti dugaannya,  dalam pikirannya sungai ini baik-baik saja sedari dulu. Ia menyelamatkan diri di jembatan bersama dengan anak-anak dan tetangganya, namun karena terkena lumpur saat menyelamatkan diri, ia meminnta suaminya untuk membawanya ke masjid agar bisa membersihkan diri, namun naas saat menuju ke masjid air bah yang lebih dahsyat justru datang dari arah belakang masjid yang notabene bukan aliran sungai, ia hanyut bersama suaminya dan puluhan orang lainnya, suaminya hanya berteriak “mekkelalaki..mekkelalaki..” hingga akhirnya suara itu menghilang dan iapun berada didasar tanah tersapu air bah, ia mulai ikhlas dan berserah diri, disaat ia mulai kesulitan bernapas tiba-tiba ia berhasil meraih sebuah bantal kepala, ia memeluk bantal tersebut dengan erat dan dengan perlahan tubuhnya mulai kembali muncul dipermukaan, dengan posisi itu ia bertahan hingga banjir mereda dan bantuan mulai datang. belum samapi disitu ujian bu jelita, sepekan setelah pertemuan kami ia dan keluarganya posotif Covid, bukan ujian mudah, saat trauma belum juga mereda, kini ujian baru ynag menghampiri, namun ibu tetap yakin bahwa Allah memberikan ujian sesuai dengan porsi kemampuan hamba-Nya.

Lain cerita lagi soal rani, ia dan sahabatnya Yanti malam itu berlari meninggalkan rumah, namun derasnya air malam itu membuat ia berpisah dengan temannya dan teriakan terakhir yang ia dengan “rani, samaki.. tungguka..” namun rani tak dapat berbuat apa-apa, air terlalu deras untuknya, lari sejauh mungkin adalah nalurinya malam itu, dan ternyata itu menjadi kenangan terakhir rani bersama temannya Yanti, ternyata malam itu yanti bersama kakak, ibu dan bapaknya menjadi korban banjir, hingga saat ini kedua jenazah orang tuanya belum berhasil di temukan. Ruang DVI jadi perjumpaan akhir ia bersama sahabatnya sedari kecil. Ia Ixora… selamat jalan, seingat saya selama SMA kamu adalah teman yang sangat periang, semasa hidup kamu berhassil memberikan warna baru untuk angkatan kita..

Satu kisah lagi dari si bapak yang terus-terusan bermimpi tentang Banjir hampir sebulan lamanya, aktivitasnya berjalan normal di tiap harinya namun pada saat ia mulai terlelap dalam tidurnya, baying-bayang banjir masih menghantui, dia akan terus-terusan berteriak “Banjir” saat ia mulai lelap. Semua berawal saat malam ia hendak beristirahat, saat itu dia sendirian saja, istri dan anaknya sedang menghadiri pesta perkawinan kerabatnya dan jauh dari rumah. Saat itu ia beristirahat sembari menonton berita, tiba-tiba orang-orang mulai berlarian dia menjadi kebingungan, datanglah anak bernama putra menarik si bapak meninggalkan rumah, saat hendak lari ia mengingat motornya, ia kembali mengambil motornya dan menyalakannya, dengan harapan ia bisa selamat lebih cepat jika naik motor. Saat di atas motor ia menghampiri putra dan ingin memboncengnya, namun takdir berkata lain, putra terjatuh kedalam selokan dan kemudian lenyap bersama air bah, si bapak hanya bisa pasrah dan iyapun turut hanyut besama motornya namun ia berhasil slemaat karena menemukan jalan yang pas untuk belok ke sebuah bukit, dan di bukit itu ia menyaksikan 4 orang temannya juga hanyut, namun rasa bersalah karena tak dapat menolong mnejadi luka tersendiri buat si bapak. Sejak saat itu ia mulai sering bermimpi, untuk bisa berada pada fase Ikhlas dengan keadaannya ia masih membutuhkan proses dan penguatan yang besar dari keluarganya.

Saya cukup mengenal Putra, dia sosok anak yang sangat di banggakan oleh keluarganya sedari kecil dan dia anak yang sangat bertanggung jawab, terakhir kali saya berjumpa dengan neneknya, sepertinya rasa kehilangan itu masih jelas di sudut mata renta nenek Putra. Dari putra saya belajar bahwa, kebaikan itu akan selalu hadir bahkan di akhir hayatpun dan dalam kondisi terburuk sekalipun.

Di malam itu, teman masa kecilku, kak reski juga menyisakan satu kisah yang berbeda pula, adiknya Anas, waktu kecil seirng kupanggilnya Pudding, ia berhasil menyisakan kisah heroic malam itu, saat yang lain berjuang menyelamatkan diri, ia memilih kembali ke masjid untuk menyelamatkan 30 orang santi yang terjebak air bah, hinggai anak yang ke-30 berhasil di evakuais saat itulah mereka terakhir kali bertemu dengan pudding, ia menghilang namun kisahnya tetap ada dan terus dikenang oleh 30 santri al-fatah. Hingga 2 pekan pasca banjir, mayatnya belum juga di temukan, di titik-titik pengharapan akhir dari keluarga kak reski, ia di temukan dan dimakamkan dengan layak adalah sebuah kesyukuran terbesar keluarganya saat itu. Bagi kak reski, jenazahnya saja dapat di makamkan dan di antarkan oleh keluarga adalah sebuah kesyukuran yang tiada tara, jika harus disandingkan dengan puluhan nasib keluargaorang lain yang hingga saat ini masih entah berantah keberadaan dan keadaanya.

Kisah ini hanya sebagian kecil dari kisah para penyintas yang menjadi saksi ketidakberdayaan manusia jika di hadapkan oleh kekuasaan Allah, dalam sekejap semuanya pergi, anak, istri, kerabat dan harta. Semua yang kita banggakan nyatanya tidak bernilai di mata Allah, yang kita butuhkan hanyalah amal ibadah, sudah ada begitu banyak contoh dan teguran dari Allah, namun kita terlalu cinta dengan dunia ini, akhirnya kita melihat bencana hanya sebatas kejadian alam semesa yang tidak seimbang, padahal ketidak seimbangan itu terjadi karena kita lupa bahwa kebaikan dan syukur adalah kunci kesemibangan bumi itu sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar