SOLIDARITAS BUTA DI BALIK ISU EKOLOGI
Sidetalk kali ini masih membahas
mengenai isu ekologi, setelah sebelumnya membahas mengenai perilaku manusia
terhadap lingkungan, kali ini kajian lebih berfokus kepada perusakan
lingkungan di sekitar kita. Isu lingkungan maka kita akan banyak
berbicara mengenai kegagalan manusia menyeimbangkan kultur sebagai bagian dari
ekosistem. Salah satu bentuk terputusnya kebudayaan atau kearifan lokal terdapat
pada lingkungan, sebab ketidak sadaran kita terhadap lingkungan kita membuat
kebudayaan semakin terkikis. Kebiasaan nenek moyang kita dengan berbagai
ritualnnya pada dasarnya membentuk sebuah pardigma “jika tidak, maka akan”.
Contohnya, dulu ketika hendak menebang pohon warga melakukan ritual dengan
meminta izin kepada penguasa hutan dan kemudian menam kembali satu pohon yang
baru sebagai gantinya, karena jika tidak dilakukan hal demikian maka penguasa
hutan akan marah dan pada akhirnya mendatangkan berbagai macam bencana alam
seperti banjir dan longsor. Kepercayaan inilah yang kemudian hilang dan justru
membuat sebagian besar manusia bertindak seenaknya dan merasa menjadi sosok
makhluk yang super power melampaui “penguasa hutan” tadi. Seacara logika, hal
yang dilakukan nenek moyang kita adalah sesuatu yang bodoh, tapi coba kita
pahamkan kembali jika penguasa hutan adalah Tuhan?, dan dampak lingkungan setelah
terjadinya pembakaran hutan, penebangan dan eksploitasi lingkungan berupa
banjir dan longsor sebagai bentuk kemarahan dan teguran dari Tuhan.
Dalam paradigma kontekstual, keberadaan manusia dan alam sering kita artikan sebagai subjek dan objek, manusia cenderung memetakan hutan dan lingkungan sebagai objek dan dirinya sendiri menjadi subjek di semesta. Hal yang sangat menggelitik adalah adanya persepsi bahwa Jika manusia merusak manusia maka itu disebut Vandal sedangkan manusia merusak lingkungan disebut pembangunan. Pembatasan terhadap subjek dan objek inilah kemudian melahirkan banyak pembenaran terhadap perilaku manusia yang berdampka terhadap lingkungan, melhat alam sebagai objek eksploitatif dan tidak ada upaya untuk melihat keseimbangan antara memberi dan diberikan. Pada dasarnya relasi antara manusia dan alam itu tidak terbatas, keduanya saling terkoneksi, keberadaan alam untuk menyediakan dan keberadaan manusia untuk menjaga keseimbangan itu. Sebab hubungan manusia dan lingkungan tidak berbatas pada hanya pada etika dan moral saja namun lebih sekedar tanggungjawab.
Sebauh analisis yang nyeleneh
namun dalam, saat saya mengunjungi beberapa daerah di Indonesia yang
kepercayaannya masih sangat konservatif, meyakini keberadaan dewa dan Roh yang
berkuasa, mereka beragama namun menurut sebagian besar mereka yang merasa ‘paling
beragam’, apa yang dilakukan odan diyakini oleh mereka adalah bentuk kesyirikan
dan di anggap sesat, namun bagi saya kesesatan mereka ternyata menjadi berkah buat
alam, bukankah dengan mereka meyakini dewa laut akhirnya mereka menjaga laut
dari kerusakan, bukankah dengan mereka meyakini dewa hutan akhirnya mereka
merawat hutan, bukankah dengan mereka meyakini adanya penjaga sungai akhirnya
mereka melestarikan sungai? Sedangkan kita yang merasa paling benar dalam
beragama dan paling benar dalam mengenal tuhan kemudian lupa menjaga ciptaan
tuhan, dengan entengnya kita menebang pohon dan dengan entengnya kita tidak
peduli dengan sampah kita. Hasil analisis nyeleneh ini justru menumbuhkan minat
saya untuk lebih jauh memperdalam pemahamn saya mengenai “Peranan Mitos dalam Keseimbangan Ekosistem”.
Baru-baru ini virus corona
menjadi sangat viralnya, setiap orang mempelajari cara penanganannya, beberapa
orang mencoba kemudian menyalahkan pigak-pihak tertentu, namun sadarkah kita
bahwa wabah akan terjadi dan selalu terjadi ketika manusia mencoba utuk
mendominasi lingkungan? Semua hewan di makan, eksosistem yang tidak berimbang,
pencemaran dimana-mana. Kahirnya dominasi inilah kemudian menyerang balik
manusia. Contoh lainnya adalah saat banjir, kemudian secara buta-buta atas nama
kemanusiaan kita berbondong-bpndong menyumbangakn harta benda untuk membantu sesama,
namun pernahkah kita sesolid ini dalam mencegah datangnnya banjir?.
Manusia cenderung mengundang
datangnnya kepunahan dirinya sendiri, ada 3 cara untuk punah dengan mudah:
- Peperangan, atas nama kekayaan dan penjualan serta keinginan untuk menjadi superpower dan berkuasa, manusia menciptakan perang dan memsunahkan sesamanya.
- Lingkungan, manusia berjuang menumpuk kekayaannya dengan mengeruk semua yang bisa dikeruk hingga bumi mengalah dan memanas, akhirnya pelan-pelan kita akan punah
- Wabah, saat manusia mendominasi alam maka alam akan mencoba kembali mendominasi manusia dan memsunahkan manusia sebagai karya dari “dominasi”.
Sangat mudah tentunya untuk
punah, saat kita focus terhadap potensi corona sebagai pemusnah, kita lupa
kelaparan dan gizi buruk yang diderita sebagian besar manusia adalah wabah yang
sifatnya kluster dan bukan menjadi sebuah masalah yang membuat kita panik meski
jumlah korbannya lebih besar dari corona itu sendiri, alasannya satu sebab
virus ini hanya menyerang mereka yang miskin.
kembali ke isu utama, ada
beberapa hal yang pada dasarnya dapat kita lakukan untuk juga mencegah
kerusakan lingkungan ini, yaitu;
- Women empowering, perempuan sebagai pintu utama rumah tangga perlu dilibatkan dalam mengontrol limbah rumah tangga, sebab rata-rata rumah tangga mampu menghasilkan sampah seberat 1-2 kg perkapita perharinya.
- Mengedukasi petani untuk tidak bercocok tanam dengan metode monokultur, sebab dapat mengancam keberlangsungan tanah.
- Mendorong ekonomi kerakyatan yang berbasis lokal, yang cenderung ramah lingkungan dan sifatnya direct selling
- Mengupayakan pemahaman mitigasi bencana sejak dini pada anak-anak, berupa pencegahan dan penanganan bencana.
- Menjejaring komunitas untuk saling berkolaborasi dalam gerakan masiv
- Tidak anti politik sebagai upaya control masyarakt terhadap pemerintah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar