Minggu, 19 Januari 2020

Pro dan Kontra RUUPKS


Pro Kontra RUUPKS (Keberpihakan UUD terhadap korban)


Kajian kali ini membahas mengenai keberadaan RUUPKS di tengah masyarakat Indonesia, kekerasan  terhadap perempuan menjadi suatu momok mengerikan yang tidak ada kunjung usainya. Perempuan kerap kali menjadi korban dan tidak dipedulikan oleh pihak berwenang bahkan dalam proses menuntut keadilan inipun perempuan masih menjadi objek yang tidak memiliki hak terhadap dirinya sendiri, belum lagi masyarakat yang turut memberatkan korban dengan adanya sangsi sosial dimana perempuan yang menjadi korban seksual di anggap sebuah hal yang lumrah yang di akbitkan oleh perilaku korban itu sendiri, masyarakat cenderung menilai korban seksual merupakan dampak dari perilaku korban. Alhasil kasus pelecehan seksual tidak pernah terdata dengan baik, disebabkan oleh dorongan untuk menutupi kasus seperti ini lebih besar dari keinginan untuk mengungkapkannya, apalagi saat ini kekerasan seksual dan pelecehan seksual dianggap hal yang tabu untuk dibicarakan hingga ke ranah pengadilan.

Adapun bentuk-bentuk kekersan seksual yang sering terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.       Pelecehan seksual
Pelecehan seksual sendiri sangat sering dilakukan oleh masyarakat termasuk dalam hal cat calling dan keinginan untuk mendorong hasrat seksual, hal ini bisa dikategorikan sebagai bentk pelecehan seksual.

2.       Eksploitasi seksual
Pada ranah ini, eksploitasi bias teradi kepada siapa saja baik perempuan maupun laki-laki, jika berada pada kondisi menjadi korban perdagangan dan korban untuk melayani dorongan skesual secara berlebihan atau juga danya ancaman dari pelaku terhadap korban sehingga korban terus menerus menjadi pelayan pemuas hasrat seksual pelaku.
3.       Perkosaan
Perkosaan dapat diaktegorikan jika adanya pemaksaan yang dibuktikan dengan hasil visum, dimana korban mendapatkan kekerasan fisik karena melakukan perlawanan.
4.       Pemaksaan kontrasepsi
Pada ranah ini kontrasepsi juga menjadi bagian dari kekerasan seksual, dimana keberagaman kontrasepsi di naggap tidak semuanya berpihak pada sudut pandang gender, jika kontraspesi yang dimaksudkan tidak memberikan kepuasan seksual kepada lawan jenis dan tanpa keinginan pasangan maka hal ini juga merupakan bentuk kekerasan seksual.
5.       Pemaksaan perkawinan
Kondisi ini bisanya terjadi untuk kepentingan ekonomi keluarga, dimana seorang anak di paksaan menikah dnegan alas an untuk membantu keuangan keluarga, contohnya kasus pernikahan yang banyak terjadi di Palu pasca gempa, dimana anak-anak perempuan di paksa menikah dengan orang yang di anggap lebih mapan agar beban keluarga dapat berkurang terlepas dari anak menginginkan pernikahan tersebut atau tidak.
6.       Pemaksaan pelacuran
Biasanya kejadian ini dialami oleh penyandang disalbilitas, dimana mereka menjadi korban pelampiasan seksual bulanan untuk mendpaatkan keuntungan pribadi.
7.       Pemaksaan aborsi
Sebagian besar kasusu aborsi dilakukan karena adanya kehamilan yang tidak diinginkan, dimana perempuan banyak yang dipaksa aborsi karena kehamilan di luar nikah yang tidak ingin dipertanggungjawabkan, namun mirisnya UUD Indonesia masih meniti beratkan aborsi kepada perempuan terlepas dari keinginannya sendiri maupun dari dorongan atau paksaan orang lain.
8.       Perbudakan seksual
Kasus ini biasanya terjadi di ranah toxic relationship dimana perempuan menjadi tawanan atau budak seksual.
9.       Hubungan seksual tidak berpersfektif gender
Hubungan seksual yang tidak mempetimbangkan kepuasan pasangan, biasnya kejadian ini didorong oleh konten pornografi yang mengedepankan berbagai gaya seksual yang justru merugukan pasangan dan tidak mempedulikan kondisi fisik lawan.

Dari bentuk-bentuk kekersan seksual di atas, biasanya jika korban melakukan pelaporan kasusnya hanya di anggap sebagai pertikaian antar pemuda, jika terjadi dalam rumah tangga padda dasarnya kasus sudha diatur di UUD Kkerasan dalam rumah tangga, namun bagaiman jika kejadian ini menimpa korban yang belum berkeluarga, jelass akan sangat berdampak buruk terjhadap perkembangan psikologis korban tentunya. Belum lagi SOP penanganan kekerasan seksual yang cenderung melukai harga diri korban dengan pertanyaan yang justru dapat memicu traumatis korban serta rehabilitasi trauma yang belum memadai. Berangkat dari pemasalahan di atas maka RUUPKS hadir untuk melengkapi Undang-undnag yang sudah ada dimana RUUPKS dapat mengatasi permsalahan di atas termasuk dari pelayanan rehabilitasi, pendampingan traumatis korban dan pencegahan kekerasan seksual pada ranah pelayanan tata ruang, pembekalan pernikahan dan pendidikan.

Kesulitan yang di rasakan oleh korban adalah sulitnya untuk membuktikan kekerasan seksual yang dialami itu sendiri, dimana traumatis belum cukup kuat untuk menunjukkan bahwa korban benar-benar di perlakukan tidak senonoh oleh pelaku, visum belum mampu menjadi kuat sebelum adalanya pengakuan dari pelaku ataupun adanya saksi yang melihat kejadian padahal kekerasana seksual kerap kali di lakukan di tempat yang sangat sunyi dan nyaris tidak ada orang lain. Contoh kasus, di luwu timur dimana 3 orang bocah kecil di sodomi oleh bapak kandungnya sendiri dan ibu korban melaporkan kejadian tersbut dank arena sulitnya mendapatkan saksi akhirnya si ibu anak tersebut malah di tuntut balik sebagai pelaku pencemaran nama baik. Kekerasan seksual paling rentan di alami oleh anak-anak dan pelakunya justru oleh orang-orang terdekat korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar