Selasa, 19 Mei 2020

SOCIO CULTURAL COMPETENCE AND RESILIENCE


SOCIO CULTURAL COMPETENCE AND RESILIENCE

Resilience atau ketahanan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan kita, kemampuan bertahan dengan mekanisme hidup yang lebih berat dan meningkatkan ketahanan diri dalam melewati fase yang lebih berat dan mampu melampauinya adalah bentuk kemampuan resiliensi seseorang. Sebelum jauh memahami tentang resiliensi pertanyaan yang paling pertama ditanyakan di kelas PLC kali ini adalah, pernahkah kalian merasa stress dan bagaimana gambaran kadaannya saat itu. Tentunya kata ini sangat lazim digunakan apalagi saat kuliah, sedikit-sedikit bilang stress akibat tugas numpuk, stress program kerja lembaga lambat pelaksanaannya, stress uang jajan belum datang dari kampung, dan masih banyak stress receh lainnya. Namun apakah stress kita sumbernya dari masalah receh ini? Tentu tidak masih ada super stress lainnya seperti meninggalnya Bapak atau Ibu kita. Stress itu berupa kecemasan yang timbul akibat gagalnya kita memenuhi kebutuhan atau keinginan yang mengakibatkan tekanan pada jiwa. Dari penjelasan ini saya berfikir bahwa betapa mudahnya kita stress akibat banyaknya keinginan dan kebutuhan yang selalu kita bangun bahkan melampaui batas kemampuan diri kita memenuhinya.

Dalam kelas parenting saya sempat belajar bahwa kita terlahir di zaman dimana menangis itu di larang, coba bayangkan di masa kecil kita saat menangis dan kata pertama yang terlontar dari orang tua adalah “sstt… jangan menangis ya, sudah yah”, kata ini justru mengakibatkan anak gagal dalam memahami emosi, sehingga dampaknya adalah anak mudah merasa tertekan sebab emosinya tidak dikenali dengan baik dan tidak disalurkan dengan cara yang aman dalam tahap perkembangannya. Terlepas dari itu semua, ini adalah sebuah tantangan baru, dimana Tuhan ingin mengajak kita mengenali emosi kita melalui cara-cara yang termanis, melalui sujud dan doa mungkin salah satunya.


Kusebut stress itu sebagai bentuk ketidak damaian hati, maka cara untuk mendamaikannya adalah dengan menyadari bahwa kejadian itu tidak bernilai apa-apa, berserah diri bahwa yang terjadi adalah ketetapan Allah maka akan muncul penerimaan diri dan kepasrahan yang didasari atas kesadaran tentang konsep qada dan qadar. Masih ingat konsep E+R = O?, yup konsep ini adalah konsep penerimaan diri dengan meniadakan nilai pada setiap event atau kejadian. Nah, hubungan dari stress dan resiliensi adalah kemampuan kita dalam melampaui setiap stress tadi adalah bagian dari konsep resiliensi, masalah yang kita hadapi tentu sifatnya fluktuatif, masalh yang awalanya luar biasa namun karena kemampuan kita bertahan akan menjadikan masalah tadi enjadi biasa saja ketika kita menghadapinya kembali. 

Sumber dari kemampuan bertahan atau source of resilience ada beberapa poin utama yang juga menjadi factor penunjangnya yaitu, factor personal atau pribadi yang sejak kecil cukup struggle dalam melewati fase hidupnya, tidak bergantung pada orang lain dan cenderung lebih mandiri. Biological factor, atau factor biologi, beberapa di antara kita mungkin cukup beruntung dengan mendapatkan asupan gizi saat kecil yang memadai sehingga saat strees tidak mudah sakit sehingga kemampuan bertahan jauh lebih besar. Dan yang terakhir adalah Invirontmental systemic factors yaitu factor sistematis lingkungan, maksudnya lingkungan bertumbuh kita ada yang sudah baik ada yang kurang baik, misalnya kita terlahir dari keluarga yang terdidik dan lingkungan keluarga yang selalu positif dan baik, tentu akan berbeda dengan kehidupan mereka yang terlahir dari keluarga broken home dan lingkungan yang kurang sehat secara social. 

Jadi saya pribadi menyimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan bertahan seseorang dari kejadian satu ke kejadian berikutnya, yang menjadikan pribadi tersebut terus menjadi kuat dan lebih buat dalam menghadapi kejadian-kejadian berikutnya. Namun tidak cukup samapi disitu saja, tahapan hidup harus selalu bevisi dan misi yang lebih besar seperti kisah hidup jonathan bahwa titik akhir perjuangan adalah mewujudkan kesempurnaan cinta, apakah dari setiap kejadian yang kita lalui tidak cukup untuk menguatkan kita secara individu untuk membantu orang lain? Maka jika jawabannya tidak sepertinnya kita masih kurang mampu menafsirkan pesan tuhan.

Wake up call –  flip and switch  – unleast your genius – create a new life song – FINDING A WE-SPOT.   
Konsep ini merupakan tahapan konsep hidup yang menjadi rujukan dari bentuk resiliensi diman kejadian –kejadian yang kita alami kemudian dimaknai secara mendalam dan menimbulkan sebuah titik balik perbuahan bagi diri kita, kemudain terjadi pola penyadaran dan mengubah beberapa kebiasaan yang menjadikan kita lebih baik dan brwujuda pada kesadaran diri bahwa kita cukup hebat dalam bertahan hidup dan menemukan AHA-nya kita hingga kita mampu menciptkan sebuah kehidupan baru meski sesekali kita akan berbalik kebelakang dan menertawakan yang sudah berlalu dan bersiap untuk menemukan titik KITA, titik dimana kita belajar melihat setiap pribadi sebagai KITA bukan tentang aku atau kamu.

“Masa lalu telah terjadi, saat ini sedang terjadi dan masa depan akan terjadi”

Sadari masa lalu sebagai bekal pembelajaran, menghadapi saat ini dengan sebaik mungkin dan mempersiapkan masa depan dengan lebih baik. Seperti inilah gambaran fase hidup manusia tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar