SOCIO CULTURAL COMPETENCE AND RESILIENCE
Resilience
atau ketahanan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan kita,
kemampuan bertahan dengan mekanisme hidup yang lebih berat dan meningkatkan
ketahanan diri dalam melewati fase yang lebih berat dan mampu melampauinya
adalah bentuk kemampuan resiliensi seseorang. Sebelum jauh memahami tentang
resiliensi pertanyaan yang paling pertama ditanyakan di kelas PLC kali ini
adalah, pernahkah kalian merasa stress dan bagaimana gambaran kadaannya saat
itu. Tentunya kata ini sangat lazim digunakan apalagi saat kuliah,
sedikit-sedikit bilang stress akibat tugas numpuk, stress program kerja lembaga
lambat pelaksanaannya, stress uang jajan belum datang dari kampung, dan masih
banyak stress receh lainnya. Namun apakah stress kita sumbernya dari masalah
receh ini? Tentu tidak masih ada super stress lainnya seperti meninggalnya
Bapak atau Ibu kita. Stress itu berupa kecemasan yang timbul akibat gagalnya
kita memenuhi kebutuhan atau keinginan yang mengakibatkan tekanan pada jiwa.
Dari penjelasan ini saya berfikir bahwa betapa mudahnya kita stress akibat
banyaknya keinginan dan kebutuhan yang selalu kita bangun bahkan melampaui
batas kemampuan diri kita memenuhinya.
Dalam kelas
parenting saya sempat belajar bahwa kita terlahir di zaman dimana menangis itu
di larang, coba bayangkan di masa kecil kita saat menangis dan kata pertama
yang terlontar dari orang tua adalah “sstt… jangan menangis ya, sudah yah”,
kata ini justru mengakibatkan anak gagal dalam memahami emosi, sehingga
dampaknya adalah anak mudah merasa tertekan sebab emosinya tidak dikenali
dengan baik dan tidak disalurkan dengan cara yang aman dalam tahap
perkembangannya. Terlepas dari itu semua, ini adalah sebuah tantangan baru,
dimana Tuhan ingin mengajak kita mengenali emosi kita melalui cara-cara yang
termanis, melalui sujud dan doa mungkin salah satunya.
Kusebut
stress itu sebagai bentuk ketidak damaian hati, maka cara untuk mendamaikannya
adalah dengan menyadari bahwa kejadian itu tidak bernilai apa-apa, berserah
diri bahwa yang terjadi adalah ketetapan Allah maka akan muncul penerimaan diri
dan kepasrahan yang didasari atas kesadaran tentang konsep qada dan qadar.
Masih ingat konsep E+R = O?, yup
konsep ini adalah konsep penerimaan diri dengan meniadakan nilai pada setiap
event atau kejadian. Nah, hubungan dari stress dan resiliensi adalah kemampuan
kita dalam melampaui setiap stress tadi adalah bagian dari konsep resiliensi,
masalah yang kita hadapi tentu sifatnya fluktuatif, masalh yang awalanya luar
biasa namun karena kemampuan kita bertahan akan menjadikan masalah tadi enjadi
biasa saja ketika kita menghadapinya kembali.
Sumber dari
kemampuan bertahan atau source of resilience ada beberapa poin utama yang juga
menjadi factor penunjangnya yaitu, factor personal atau pribadi yang sejak
kecil cukup struggle dalam melewati fase hidupnya, tidak bergantung pada orang
lain dan cenderung lebih mandiri. Biological factor, atau factor biologi,
beberapa di antara kita mungkin cukup beruntung dengan mendapatkan asupan gizi
saat kecil yang memadai sehingga saat strees tidak mudah sakit sehingga
kemampuan bertahan jauh lebih besar. Dan yang terakhir adalah Invirontmental
systemic factors yaitu factor sistematis lingkungan, maksudnya lingkungan
bertumbuh kita ada yang sudah baik ada yang kurang baik, misalnya kita terlahir
dari keluarga yang terdidik dan lingkungan keluarga yang selalu positif dan
baik, tentu akan berbeda dengan kehidupan mereka yang terlahir dari keluarga
broken home dan lingkungan yang kurang sehat secara social.
Jadi saya
pribadi menyimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan bertahan seseorang dari
kejadian satu ke kejadian berikutnya, yang menjadikan pribadi tersebut terus
menjadi kuat dan lebih buat dalam menghadapi kejadian-kejadian berikutnya.
Namun tidak cukup samapi disitu saja, tahapan hidup harus selalu bevisi dan
misi yang lebih besar seperti kisah hidup jonathan bahwa titik akhir perjuangan
adalah mewujudkan kesempurnaan cinta, apakah dari setiap kejadian yang kita
lalui tidak cukup untuk menguatkan kita secara individu untuk membantu orang
lain? Maka jika jawabannya tidak sepertinnya kita masih kurang mampu
menafsirkan pesan tuhan.
Wake up call – flip and switch – unleast your genius – create a new life
song – FINDING A WE-SPOT.
Konsep ini merupakan tahapan konsep hidup
yang menjadi rujukan dari bentuk resiliensi diman kejadian –kejadian yang kita
alami kemudian dimaknai secara mendalam dan menimbulkan sebuah titik balik
perbuahan bagi diri kita, kemudain terjadi pola penyadaran dan mengubah beberapa
kebiasaan yang menjadikan kita lebih baik dan brwujuda pada kesadaran diri
bahwa kita cukup hebat dalam bertahan hidup dan menemukan AHA-nya kita hingga
kita mampu menciptkan sebuah kehidupan baru meski sesekali kita akan berbalik
kebelakang dan menertawakan yang sudah berlalu dan bersiap untuk menemukan
titik KITA, titik dimana kita belajar melihat setiap pribadi sebagai KITA bukan
tentang aku atau kamu.
“Masa lalu telah terjadi, saat ini sedang
terjadi dan masa depan akan terjadi”
Sadari masa
lalu sebagai bekal pembelajaran, menghadapi saat ini dengan sebaik mungkin dan
mempersiapkan masa depan dengan lebih baik. Seperti inilah gambaran fase hidup
manusia tentunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar