Senin, 04 Mei 2020

NATURE OF CONFLICT


NATURE OF CONFLICT

Sebelum kita jauh melangkah membahas Mengenai konflik, sebelumnya mari kita sedikit beRcerita mengenai kedamaian. Damai itu menurut saya priibadi adalah kondisi dimana kita bisa hidup dengan penuh rasa keadilan atas hak-hak kita yang terpenuhi, kebayangkan yah, kondisi saat ini dimana kita selalu merasa ini dan itu, namun ternyata kedamaian yang saya maksudkan ini adalah kedamaian yang mustahil untuk di penuhi sebab factor-faktor yang telah di bahas di kelas sebelumnya yaitu manusia adallah makhluk yang assosial sekalgus social, manusia adalah makhluk yang sangat individual dan egois. Ternyata memaknai damai itu cukup dengan membayangkan bahwa di dunia ini tidak ada lagi kekerasan “Absence of violence” , meski pertentangan atau bentuk konflik lainnya tetap terjadi, sebab untuk hal yang satu ini tentu terjadi.

Hampir di setiap lini pendidikan kini aktif menyuarakan pendisiplinan tanpa kekerasan, sebab kekerasan adalah bentuk konflik terburuk yang tidak untuk di kenalkan kepada anak-anak. Mengikuti konsep gaya yang katanya “gaya orang dulu”, tentu sudah tidak relevan. Saya percaya bahwa setiap zaman dan generasi memiliki keunggulannya masing-masing, jadi kata “kami dulu dek/nak” sudah tidaklah relevan dan hanya menjadi bibit munculnya pertentangan yang baru, dimana ekspektasi kita dibentuk tanpa di dasarkan kepada realitas-realitas yang perlu dipertimbangkan. Saya ingat di awal tahun ini tante saya mengadopsi bayi, ku sebutnya baby Al. sejak tahun 2017 saya mencoba membantu mencari anak yang bisa di adopsi mulai dari panti asuhan yang ada di makasssar, kebetulan saya dan beberapa teman saya mengadapakn program helping hand di salah satu panti asuhan di talasalapang, Makassar. Dia bayi yang di titipkan oleh orang tuanya saat masih bayi hingga ia beranjak 2 tahun orang tuanya tak kunjung datang menjemputnya, mata sayunya membuat setiap mata yang melihatnya luruh, setiap telinga yang mendengar kisahnya marah, kukenalkan dialah kepada tanteku dan prosedur adopsinya ternyata pengurusannya tidak mudah, belum lagi Ibu menentang keras ide ini, ku urungkan niat untuk mengurus proses adobsinya. Tante saya memutuskan untuk tidaak banyak membahas bayi saat berkunjung ke rumah, melihat watak ibu yang cukup keras saat itu. Di tahun selanjutnya sepupu saya mengadakan ulang tahun di salah satu anti asuhan yang ada di Syeh Yusuf, Makassar, disana adalagi kisah yang menyedihkan, seorang anak riang yang baru saja berumur 8 bulan yang tertatih berjalan ia menjadi sorotan utama kami saat itu, bagaimana tidak, dia anak yang di buang oleh ibunya di dalam kardus mie yang diletakkan di depan panti asuhan dan sepucuk suratnya meminta pihak panti asuhan menjaga anak tersebut. Keinginan untuk mengadopsi anak muncul kembali, kutanyalah ke beberapa orang, ternyata mengadopsi anak yang ada di Panti asuhan ternyata tidak mudah, sebab anak-anak disana sudah di data oleh Dinas Sosial, jadi waktu itu saya disarankan untuk menghubungi perawat di rumah sakit bersalin, dan meminta bantuan untuk menghubungi tante saya jika ada anak yang bisa di adopsi, sebab anak yang baru lahir belum terdata oleh dinas, sehingga pengurusan akte kelahirannya jauh lebih mudah.


Tuhan itu selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan kita akan pertentangan yang muncul, meski banyak yang menolak, Tuhan itu Maha tau akan jalan terbaik untuk setiap hambanya. Januari, tante saya mendapat kabar akan peluang adopsi anak, diberikanlah tanggal kelahiran anak tersebutt untuk kemudian segera di jemput. Tanpa musyawarah baby Al di jemput di salah satu kediaman perawat, adosi ini murni keinginan untuk menyelamatkan bayi, sebab prosesnya tidak memubutkan biaya apapun, baby Al di serahkan ke tante saya tanpa mengetahui siapa ibu kandung anak ini, dan itu adalah keputusan ibu kandung si baby, kamipun menghargai itu. Berselang 4 hari baby Aira lahir, untuk pertama kalinya baby Al diperkenalkan di keluarga kami, ia  disambut dengan suka cita dan tanpa prasangka apa-apa meski sempat khawatir bagaimana pandangan keluarga tentang kehadiran baby Al, semuanya berjalan baik, meski masih ada beberapa keluarga yang berbisik-bisik, ku pikir selama keluarga besar menerima tidak akan jadi masalah besar. 

Dari kejadian di atas saya belajar bahwa, Tuhan adalah apa yang kita prasangkakan. Tuhan akan menghadirkan ketidak damaian seiring dengan tumbuhnya prasangka negative kita, namun ketika kita berhasil melewatinya dengan mengubah apa yang kita prasangkakan menjadi apa yang tuhan rencankan maka saat itu tuhan akan menghadirkan kedamaian keada kita. Tak ada konflik batin di tengah keyakinan akan campur tangan tuhan di setiap kejadian yang kita alami. Perlu kita pahami bahwa konflik adalah rangkaian kegagalan kita dalam memahami rencana tuhan. Seperti inilah bentuk alamiah konflik, dimana adanya ekspektasi yang tidak terwujud akibat hambatan dari orang lain atau bahkan dari prasangka diri sendiri, hal ini terjadi karena adanya dorong sifat dasar manusia yang bisa jadi berupa id, ego dan super ego (Menurut teori Sigmund Freud).

Salah satu cara menghadirkan konflik pada diri sendiri adalah dengan membandingkan, kembali ke kisah Al di atas, hal yang menyebabkan beberapa keluarga saya menolak adopsi anak adalah mereka membandingkan Baby Al dengan beberapa anak adopsi lainnya yang ada di keluarga kami, menurutnya si A dan Si B jadi anak yang nakal. Jelas ini adalah bentuk intervensi terhadap masalah dengan serampangan, sebab menurutku anak-anak itu terlihat nakal di mata mereka bisa juga diakibatkan oleh banyaknya komentar negative yang muncul kepada anak adopsi dan lingkungan tumbuh kembang anak yang juga menjadi pertimbangan. Baik dan buruknya manusia sangat naïf jika di ukur dari kaca mata manusia. Temanku selalu bilang, hidup kita terlalu berharga hanya untuk memenuhi hasrat gossip tetangga. Yakinkan saja diri kita bahwa, selalu ada Tuhan di setiap aktivitas kita dan apapun yang terjadi itu adalah rencan Tuhan, jika hal buruk yang datang bisa jadi kita seddang di uji kesabarannya agar kita siap menjadi pribadi yang lebih baik, dan jika hal baik yang datang maka Tuhan bisa saja hendak menguji kita melalui kenyamanan, seberapa bersyukurkah kita. Ujian bisa dalam bentuk kesempitan ataupun kelapangan, percayalah bahwa konflik hadir untuk meningkatkan kualitas diri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar